Chapter 72 - 72. (1/2)
Jason bingung bagaimana membuat alasan pada Elena, dia tahu Elena tidak akan melepasnya begitu saja. 'Maafkan aku Sayang.. Aku tidak berniat mengkhianatimu'. Batin Jason.
Seketika Jason memeluk Elena dan menciumnya didepan Silvia. Dia terpaksa melakukan itu karena tidak ada cara lain untuk membuktikan kalau mereka tidak memiliki hubungan. Elena membalas ciuman Jason dengan ganas didepan Silvia.
Silvia yang melihat adegan yang menyayat hati itu hanya bisa berbalik arah dan berjalan menjauh dari mereka dengan Perasaan hancur. Silvia sadar, Ludius dulunya adalah seorang yang senang bermain dengan wanita, bahkan berhubungan badan adalah hal biasanya baginya. Tapi melihat dirinya yang sekarang mencium wanita lain didepan Silvia membuatnya benar-benar hancur.
”Apakah janji kita hanya bisa sampai disini?. Mengapa kamu melakukan hal itu. Aku masih bisa memaafkan masa lalumu yang selalu mempermainkan dan menjadikan wanita sebagai hiburan. Tapi Bagaimana dengan sekarang?”. Gumam Silvia.
Silvia terus berjalan tanpa henti menuju mobil yang diparkirnya. Melihat mobil yang dipakainya adalah milik Ludius, dia justru meninggalkannya di Restaurant dan memilih untuk mencari angkutan umum atau taksi. Lama tidak ada taksi yang lewat, tiba-tiba saja ada sebuah mobil sport hitam berhenti didepannya. Seseorang keluar dari dalam.
”Silvia.. Apa yang sedang kamu lakukan disini?”. Tanya Li Thian.
Silvia hanya terdiam, Wajah sendunya terlihat jelas di mata Li Thian, seketika LiThian memeluk Silvia. ”Jangan memendam perasaan sedih terlalu lama. Menangislah jika itu mampu menenangkan hatimu”.
Silvia menumpahkan segala perasaannya dalam pelukan LiThian. Dia meneteskan air mata dan hanya terdiam tanpa berbicara.
”Apakah seperti ini perasaan yang hancur. Bahkan ini lebih menyakitkan dari saat mendengar hilangnya dirinya. Mengapa hidup penuh dengan ilusi yang menyakitkan?”. Gumam Silvia.
”Karena ilusi adalah sebagian dari warna kehidupan. Seperti halnya saat kita tertidur dan mendapatkan begitu banyak mimpi. Silvia.., Jangan pernah mengalah dengan ilusi kehidupan. Yakinlah.. Suatu saat akan berakhir, cukup kamu ikuti apa kata hatimu. Maka hatimu akan memberikan jalan dan jawaban. Bukankah itu yang selalu kamu ajarkan padaku?”.
Silvia tertegun dengan perkataan LiThian, dia merasa telah terjebak dalam ilusi yang dibuatnya sendiri. ”Bagaimana aku bisa kehilangan keyakinan seperti ini?. Sesaat aku seperti sedang berjalan tanpa mendengarkan hati dan hanya mengandalkan mata, hingga aku terjebak dan tidak mempercayainya”. Kata Silvia lirih.
LiThian melepas pelukannya pada Silvia. ”Aku mengagumi mu sebagai wanita karena keteguhan akan apa yang kamu yakini. Tapi melihatmu saat ini, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya LiThian,
Silvia tersadat telah melakukan hal memalukan dengan menangis dalam pelukan LiThian di tengah ramainya jalan raya.
”Ah.. Itu.. ” Silvia bingung bagaimana harus menjelaskannya.
Ssst… LiThian menaruh jari telunjuknya di bibir Silvia.
”Jangan diteruskan. Jika itu hal yang tidak bisa kamu ceritakan, maka cukup diam dan tersenyumlah”. Kata LiThian, dia memberikan senyum termanisnya pada Silvia.
”Dari dulu kamu memang teman kakak sekaligus sahabat yang baik. Terima kasih untuk yang satu ini”. Silvia membalas dengan senyum menawannya.
”Ini baru Silvia yang aku kenal. Cerialah..”.
LiThian membuka pintu mobil dan mengantar Silvia kerumah Ludius yang kini dia tinggali.
”Ujung-ujungnya aku tetap saja berurusan dengan apapun tentangnya. Bahkan aku pulangpun kerumahnya. Huuuft..”. Gumam Silvia.
Mobil telah sampai didepan pintu utama Kediaman Ludius. Silvia turun dari mobil, kaca mobil bagian depan terbuka.