Chapter 236 - 236. Duduk berdua di taman (1/2)

Lama Ludius menyuapi Silvia di temani canda tawa serta ledekan yang terasa hangat hingga memenuhi satu ruangan berhasil membuat Silvia menghabiskan makanannya. Namun ketika Ludius mengingat perkataan Linzy bahwa pada trimester kedua dan ketiga menjadi penentu dari nasib dari Silvia dan janinnya membuatnya sedikit gemetar. Ia takut akan kehilangan jika istrinya mengetahui hal ini.

Setelah selesai menyuapi Silvia, Ludius menaruh kembali mangkuk di atas meja. ”Istirahatlah kembali Sayang”.

Silvia menggelengkan kepala. ”Aku bosan di kamar Ludius, mengapa kau memperlakukan ku seperti pasien?”.

”Lalu kamu ingin apa sayang? ”.

”Kita ke taman depan yuk.. Siang menjelang sore begini biasanya udaranya sejuk”. Ajak Silvia

”Baiklah.. Kita akan ketaman sekarang”.

Demi memanjakan istrinya, Ludius mengangkat Silvia dari kasur dan menggendongnya ala bridal keluar dari kamar dan menuruni tangga menyusuri beberapa ruangan.

Silvia mengalungkan kedua tangannya di leher Silvia, dengan mata jahilnya terus memandang ketampanan suaminya.

”Sayang, berhenti memandangku seperti itu, atau aku tidak bisa menahannya nanti”. Tegur Ludius yang memergoki istrinya terus melihat wajahnya jahil.

”Habisnya kamu terlalu tampan suamiku.. ”.

Tiba di taman depan, Ludius mendudukkan Silvia di sebuah bangku yang memanjang. Di sebuah taman yang cukup luas dan letaknya berada tidak jauh dari Mansion Ludius duduk di samping Silvia melihat pemandangan yang cukup asri di tengah hiruk pikuknya Kota Shanghai.

”Ludius.. ” panggil Silvia dengan suara parau, matanya masih memandang jauh kedepan tanpa melihat ke arah suaminya.

”Ada apa Sayang? ”. Ludius memalingkan wajahnya melihat pipi yang sedikit tirus milik istrinya,

”Tidak ada, hanya teringat sesuatu saat kita sedang berdua seperti ini. Hanya ada kita berdua bersama hamparan taman yang luas. Indah bukan.. ”. Silvia perlahan menyandarkan kepalanya di pundak suaminya.

”Jika kamu menyukai hal seperti ini, maka kita akan melakukannya setiap hari. Menatap senja di sore hari ditemani hamparan bunga, tidak buruk juga.. ”. balas Ludius, tangan kanannya membelai kepala Silvia yang bersandar di pundaknya. Sesekali Ludius mencium kening istrinya, namun ia merasa seperti ada yang aneh dengan istrinya. Istrinya yang selalu banyak bicara mengapa sekarang lebih memilih diam?!.

”Apakah kamu tahu Ludius, kadang aku berfikir mengapa kita bisa diTakdirkan untuk bersama? Apa tujuan Tuhan mempertemukan kita? Dan mengapa hanya kamu yang mampu membuatku jatuh cinta berulang kali?. Disitu hati terus bertanya tanpa tuan…”. Perkataan Silvia terhenti, seperti ada sepenggal kata yang tak ingin dia ucapkan.

Perkataan Silvia yang dalam kadang membuat Ludius tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan istrinya. Kata demi kata yang Silvia rangkai bagai sebuah bait teka teki yang tidak bisa dipecahkan.

”Kata demi kata yang kau ucapkan bagai teka teki Sayang, aku bahkan belum mampu menjabarkan nya. Bagiku, entah itu Takdir atau bukan.. Asal aku bisa bersamamu itu sudah cukup”.

”Pfft… haha... Ludius, pemikiranmu mudah sekali. Jika saja aku bisa berfikir semudah itu, mungkin aku tidak akan setakut ini”. Ujar Silvia terkekeh menahan tawa,