Chapter 181 Aran (Part 2) (1/2)
Sebuah kamar kecil di area paviliun vila,
tempat para pelayan wanita tinggal selama bulan madu tuan dan nona mereka. Aran
tetap tinggal sendiri seperti saat dia ada di rumah belakang, karena memang dia
belum mendapatkan teman sekamar. Namun saat ini, sesal datang menelisik hatinya, kenapa dia menyelinap
tadi dari kegiatan para pelayan yang lain. Seharusnya dia memilih duduk-duduk di pinggir pantai sambil mengigit
bibir iri melihat yang lain bermain ombak dan olahraga air. Setidaknya menikmati
hembusan angin jauh lebih baik dari pada di posisinya sekarang. Berada di kamar kecil ini berdua dengan laki-laki yang susah di tebak suasana hatinya. Han masuk tadi tanpa menutup pintu, sengaja dia biarkan terbuka.
Jantung Aran sudah berdebar sangat kuat. Degupnya berpacu seirama dengan tarikan nafasnya.
Dia perlahan mengeser semua perangkat elektronik di meja membelakanginya.
Sampai benda-benda itu tertutup tubuhnya. Tidak terlihat, minimal itu yang bisa dia lakukan sekarang. Sambil terus memohon dalam doanya, supaya laki-laki di depannya
ini tidak melihat apapun tadi. Tapi, saat dia mendonggakan wajah dan pandangan
mata mereka bertemu, dia tahu, kalau laki-laki di hadapannya ini sudah melihat.
Dia pasti melihatkan. Mata
harimaunya tidak mungkin lengah.
“ Minggir!” Han sudah berdiri dengan
sikap angkuhnya, tidak akan mundur selangkahpun dari posisinya. Walaupun sekeras
kepala apapun Aran mencoba mempertahankan apa yang dia sembunyikan.
Aran tetap diam mematung di
posisinya.
“ Kau tidak dengar? Aku bilang
minggir.” Mata sekertaris Han sudah membuat bulu kudu merinding. Dan Aran sudah mulai gentar dan ngeri.
“ Tuan ini barang pribadi saya.
Tuan tidak bisa seenaknya memeriksa barang pribadi saya.” Takut-takut menjawab.
Dengan posisi masih berdiri di tempatnya. Mendengar jawaban Aran, Han tersenyum tipis.
“ Kau lupa yang kau katakan?” Mendengar kata-kata Han, ingatan Aran langsung loncat di kafe saat kedua kalinya mereka bertemu setelah insiden toko buku. ” saat
aku mempekerjakanmu, apa yang kau katakan?” Senyum tipisnya muncul lagi.
Menjadi seringai kecil, di mata Aran terlihat seperti auman harimau yang siap
menerkamnya bulat-bulat.
Aran bergeser pelan dari tempatnya
berdiri. Menjauhi meja dimana semua senjata menulisnya berada. Menatap nanar
laptop yang sudah tertutup dan hp yang masih bergetar sesekali menandakan masih
ada notifikasi masuk. Tidak tahu itu pesan atau hanya sekedar spam notifikasi
sosial medianya.
“ Mematuhi semua perintah anda tanpa terkecuali.” Katanya
pelan sambil berjalan menjauh dari meja.
Cih seharusnya aku menambah poin
jangan mencampuri urusan pribadiku. Kenapa aku hanya mengajukan syarat untuk tidak memukulku saja si. Rasanya Aran ingin menangis darah karena kesal akan kebodohannya.
Han sudah seperti menyentuh benda
miliknya sendiri. Menarik kursi untuk dia duduki dengan nyaman. Sementara Aran
masih berdiri dengan detak jantung yang jauh lebih cepat dari biasanya.
Pikirannya sedang menerawang, membuat jawaban atau sebuah sekenario dadakan
kalau saja hal paling gila yang akan di ucapkan sekertaris Han setelah melihat
isi laptopnya. Han sudah mengangkat layar laptop. Matanya melirik hp di
sampaingnya. Sementara Aran berdiri semakin pucat. Wajahnya sudah seperti
kekurangan darah. Dia meremas ujung bajunya.
Apa aku rebut dan banting saja
laptop itu. Aaaaa, itu senjataku mencari uang selama ini!
“ Duduklah!” Tanpa melihat Aran Han
bicara. Laki-laki itu hanya melirik sebentar wajah pucat gadis di depannya.
Lalu fokus melihat laptop di depannya. Layar depan laptop sudah menyala. Dan
dia sudah melihat apa yang yang di sembunyikan Aran. “ Kau mau berdiri di
situ?”
“ Tidak! Saya duduk tuan. Terimakasih.”
Berteriak memotong kata-kata Han.
Foto-foto yang diambilnya secara
sembunyi-sembunyi beberapa tahun lalu. Sejarah kelam namun selalu dianggapnya
maha karya. Kebencian sekaligus kebanggaan yang campur aduk saat melihatnya.
Membuat Aran mengangapnya itu sebagai kenangan terbaik sekaligus menyedihkan
dari pekerjaannya. Lagi pula orang dalam foto itu cukup enak di pandang mata.
Walaupun di pandang dengan dibumbui kebencian sekalipun. Semuanya dalam jumlah
tidak sedikit. Menjadi kolase puzle sebagai layar dakstopnya.
Sialan! Kenapa sampai ketahuan
begini si!
Ini seperti penguntit yang ketahuan memajang foto-foto hasil stalker di dinding kamar. Sudah tidak semua foto masuk kategori bisa di konsumsi publik semua umur lagi. Rasanya Aran ingin tengelam ke dasar kerak bumi saja.
“ Hah! Kau benar-benar tidak tahu
malu ya.” Berdecak keras. Sambil menunjuk laptop dengan jari telunjuknya. Aran
bahkan berfikir benda tua itu akan pecah kalau sekali lagi di tunjuk sekeras
itu. “Bagaimana kau bisa menyimpan foto-foto hasil curian mu ini tanpa rasa
bersalah sama sekali.”
Diam, hanya bisa mengigit bibir