75 Satu di Antara Seratus (1/2)
”Jangan takut, Dollar hanya sendirian dan kita dapat bekerja sama untuk menyingkirkannya dulu,” seorang anak muda mengenakan perkakasnya dan berkata.
”Tepat, mari kita singkirkan dulu si malaikat kecil.” Seseorang menatap Han Sen dengan serakah, seolah-olah dia sedang melihat seorang wanita telanjang.
”Ha-ha, Dollar. Aku adalah penggemar beratmu, jadi saya akan lembut padamu.”
”Dollar, jangan lari, terimalah tinjuku…”
Tiba-tiba hampir seratus orang di panggung semuanya menghantamkan dirinya pada Han Sen sambil berteriak histeris.
”Persetan! Apa-apaan ini? Bukankah penggemarku seharusnya melindungiku dan bukan memukulku…” pikir Han Sen.
Walaupun orang-orang ini tampak berbahaya, mereka tidak memiliki senjata sama sekali. Tidak ada yang berani mencoba untuk terlibat dalam pertarungan sengit dengan Han Sen.
Pada dasarnya, orang yang lebih kuat telah mendaftar relatif lebih dahulu. Mereka yang menunggu sampai saat ini untuk mendaftar biasanya relatif lemah atau orang baru di Tempat Suci Para Dewa.
Han Sen juga tidak menggunakan senjata sama sekali. Melihat tinjuan orang pertama hampir mengenai wajahnya, Han Sen bergerak sedikit untuk menghindar. Menggunakan tangannya sebagai pisau, Han Sen menyerang balik dengan Badai Pedang.
Orang itu tidak memiliki waktu untuk menanggapi sebelum dia terluka di bagian belakang leher dan langsung jatuh ke tanah.
Han Sen bergerak seperti angin, menebaskan tangan pisaunya. Dia hampir dapat selalu menyingkirkan lawannya hanya dengan satu ayunan. Kemanapun dia pergi, orang-orang terlempar seperti tempat kejadian setelah angin topan.
Hal yang terbaik dari mempelajari Hantu yang Menghantui adalah Han Sen sekarang mengetahui berbagai aspek dari tubuh manusia. Walaupun dia tidak menggunakan Hantu untuk Menghantui, dia masih dapat menggunakan Badai Pedang dengan tepat sehingga tidak ada orang yang terluka parah ketika mereka dikalahkan.
Melihat hampir seratus lawan dikalahkan oleh Han Sen, banyak yang tersenyum dan memilih untuk berhenti setelah mereka berdiri.
”Dollar tak ada tandingannya.”
”Dollar kaulah malaikatku, kau sungguh tampan.”
”Aku bersedia melahirkan anakmu, Dollar!”
Di bawah panggung, para penonton hiruk pikuk dalam kegembiraan.
Ketika lawan terakhir keluar dari panggung, Han Sen merasa puas dengan dirinya sendiri dan melambai ke arah para penonton. Dia berpikir, ”Tampaknya aku juga berpotensi menjadi seorang bintang. Haruskah aku berkata 'berikan aku sepuluh lagi' sekarang? Tidak apa, apa artinya sepuluh bagiku? Aku telah mengalahkan seratus.”
Han Sen secara otomatis masuk ke ronde berikutnya. Tepat pada saat dia berjalan keluar dari aula persilatan, dia melihat beberapa gadis muda berlari ke arahnya, menawarkannya sebuah pena. Mereka bertanya dengan suara yang bergematar, ”Dollar, bolehkah kami mendapatkan tanda tanganmu?”
Han Sen tertegun karena dia tidak menyangka hal ini.
Untungnya, tidak lama kemudian dia kembali sadar dan mengambil pen sambil berkata iya.
Tetapi pada detik berikutnya, Han Sen merasa tersipu. Gadis-gadis kecil ini hanya memberikannya sebuah pena, tetapi tidak memberinya kertas apapun. Dimana dia harus tanda tangan?
”Dimana aku tanda tangan?' Han Sen bertanya dengan suara serak.